Jumat, 28 Januari 2011

Pendekatan Konstruktivisme

1. Pendekatan Konstruktivisme

Dengan berdasarkan kepada paham kontruktivismenya Piaget, Kamii (1989-1994) telah mendemonstrasikan bagaimana siswa-siswa sekolah dasar dapat menemukan prosedur sendiri dalam memecahkan soal-soal multidigit dalam bilangan cacah. Temuan yang berarti dari penalitiannya adalah bahwa ketika para siswa tidak diajari algoritma seperti “membawa” dan “meminjam”, pengetahuan mereka tentang bilangan dan nilai tempat jauh lebih unggul daripada siswa yang diajari aturan algoritma tersebut.
Werrington dan Kamii (1997) memperluas kerja ini di kelas 5 dan 6 sekolah dasar dan menjelaskan suatu pendekatan pembelajaran pembagian dengan menggunakan pecahan tanpa mengajarkan algoritma tentang “mengali dan membagi”. Dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan meng’encourage’ (mendorong) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong (meng’encourage’) siswa untuk tidak setuju atau setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akalnya.
1.1 Belajar Matematika Menurut Paham Konstruktivisme
Para ahli konstruktivis merekomendasikan untuk menyediakan lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar, keterampiln algoritma, proses heuristic dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi. Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb dkk. (1992) menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktiv di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpatisipasi secara aktiv dalam latihan matematika dikelas.
Confrey (1990), yang juga banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu powerful constructionpowerful construction berfikir siswa. Lebih jauh ia mengatakan bahwa “powerful construction”  ditandai oleh : dalam matematika. Dalam mengkonstruksi pengertian matematika melalui pengalaman, ia mengidentifikasi 10 karakteristik dari  
1.       Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan internal,
2.       Suatu keterpaduan antar bermacam-macam konsep,
3.       Suatu kekonvergenan diantara aneka bentuk dan konteks,
4.       Kemampuan untuk merefleksi dan menjelaskan,
5.       Sebuah kesinmbungan sejarah,
6.       Terikat kepada bermaacam-macam system simbol,
7.       Suatu yang cocok dengan pendapat experts (ahli),
8.       Suatu yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut,
9.       Sebagai petunjuk untuk tindakan berikutnya,
10.   Suatu kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankannya.
Menurut konstruktivis bahwa secara substansif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah. Konstruktivisme telah memfokuskan secara eksklusif pada proses dimana siswa secara individual aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka sendiri.
1.2 Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika
Beberapa ahli konstruktivis telah menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan konstruktivisme. Bercermin dari pernyataan Confrey dapat disimpulkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir , fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berfikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.
1.3 Implementasinya dalam Pembelajaran Matematika
Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler and Grouws (1992) menyatakan bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu kontinum antara negosiasi dan impsition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb and Stefe (1992) menambahkan bahwa “…dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan untuk mencoba melihat keduanya aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang siswa. Seseorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses yang memfasilitasi suatu konstruksi, maka ia akan mengikuti model negoisasi. Aktivitas guru  dikelas dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran.
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of studies (1995) menyatakan bahwa “siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif dalam cara-cara yang berbeda-beda. Lovitt and Clarke juga menambahkan bahwa “kualitas pembelajaran di tandai seberapa luas lingkungan belajar :
a.       Mulai dari mana siswa ini berada
b.      Mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda,dan cara yang berbeda
c.       Melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar
d.      Meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner.
1.4 Evaluasi Pembelajaran Matematika menurut Konstruktivisme
Untuk mendeskripsikan evaluasi pembelajaran, perlu diklarifikasikan seberapa bedakah antara assesmen dan evaluasi. Menurut Webb (1992) evaluasi dalam pendidikan adalah suatu investigasi sistematis tentang nilai atau merit tentang suatu tujuan. Termasuk di dalam evaluasi adalah kumpulan bukti-bukti secara sistematis untuk membantu keputusan tenetang :
1.siswa belajar,
2.pengembangan materi,
3.program.
Wood memberikan definisi umum tentang assesmen sebagai berikut :
Assesmen dianggap sebagai penyediaan suatu pertimbangan menyeluruh dari suatu fungsi individu di dalam melukiskan rasa paling luas dalam berbagai bukti baik kualitatif maupun kuantitatif dan karenanya sampai kepada pengujian keterampilan kognitif dengan teknik paper-pencil untuk sejumlah orang.
Webb and Briass menambahkan bahwa :
Assesmen dalam matematika adalah proses penentuan apakah siswa tahu. Merupakan suatu bagian dari aktivitas pengajaran matematika, yaitu pengecekan apakah siswa memahami, mendapatkan umpan balik dari siswa, kemudian menggunakan informasi ini untuk membimbing pengembangan pengalaman belajarnya.
Meskipun ada perbedaan pengertian antara evaluasi dan assesmen yang dimaksudkan disini adalah cara guru mengases(menilai) prestasi siswa belajar matematika. Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlansung (on going assesment). Dari awal sampai akhir guru memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu konsep matematika, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan (matematika) yang di buat oleh siswa.
1.5 Posisi Pengajaran Konstruktivis di antara Pendekatan Lain
Menurut Burton (1993) pandangan tradisional memandang matematika sebagai pengetahuan dan keterampilan yang terdefinisi secara ketat (a)belajar melalui transmisi, (b)belajar dalam sikap yang compliant (selalu mengalah),(c)menilai siswa melalui tes menggunakan kertas dan pensil tanpa perlu terlihat. Sebaliknya pandangan konstruktivisme menolak pembelajaran yang dilakukan oleh pandangan tradisional dan meletakkan tanggung jawab belajar dari guru kepada murid. Lebih jauh Burton (1993) mengusulkan bahwa tanggung jawab guru dalam proses belajar adalah untuk:
>menstimulasi dan memotivasi siswa
>menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman
>mendiagnosa dan mengatasi keluhan siswa
>mengevaluasi
Kamii (1990) menambahkan bahwa “kenyataan anak mengkonstruksi pengetahuan logika matematikanya sendiri tidak lantas menyebabkan bahwa peranan guru hanya duduk dan tidak mengerjakan apa-apa, sebaliknya peranan guru menjadi tidak lansung dan lebih sulit dibandingkan kelas tradisional.
Tujuan pendekatan konstruktivis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Seorang guru matematika hendaknya mempromosikan dan mendorong pengembangan setiap individu di dalam kelas untuk menguatkan konstruksi matematika, untuk pengajuan pertanyaan (posing), pengkonstruksian, pengeksplorasian,pemecahan, dan pembenaran masalah-masalah matematika serta knsep-konsep matematika. Guru juga diharapkan mencoba berusaha mengembangkan kemampuan siswa merefleksikan dan mengevaluasi kualitas konstruksi mereka (para siswa).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by kurniazone